Kisah dr Lo di Solo, Dokter yang Tak Pernah Minta Bayaran

Kisah hidup dr Lo Siaw Ging (79) menjadi pembicaraan hangat di media massa akhir-akhir ini. Sikap peduli terhadap yang kaum marjinal diwujudkan secara nyata oleh sosok dokter asal Solo tersebut.
Dr Lo yang lahir di Magelang 16 Agustus 1934 tersebut menjadi paradoks di tengah-tengah sikap skeptis masyarakat umum yang meyakini biaya berobat di rumah sakit pasti mahal.
Banyaknya kasus penolakan pasien tak mampu di rumah sakit seakan luruh ketika menyimak kisah hidup Lo Siaw Ging.
Rumah dr Lo di Jalan Yap Tjwan Bing No 27, Jagalan, Jebres, Solo, Jawa Tengah, tampak selalu dipadati warga yang mengantre untuk berobat kepada dr. Lo Siaw Ging. Setiap hari, dr Lo mulai buka praktik pukul 06.00 dan pukul 16.00. Saat siang, ia melayani pasien di Rumah Sakit Kasih Ibu di Jalan Slamet Riyadi, Solo.
Di rumah dr Lo tersebut, cerita tentang sosok lulusan Universitas Airlangga, Surabaya, mengalir dari mulut ke mulut. Kisah unik dan mengharukan hadir di antara kursi tunggu pasien.
"Saya dimarahi dr. Lo. Gara-garanya pas saya periksakan anak saya ke dokter karena sakit panas tinggi, lalu dokter marah ke saya kok baru sekarang dibawa ke dokter," kata Agung (29), warga Jagalan, Sabtu (30/11/2013).
Lain lagi dengan Kaila (30), seorang ibu muda asal Solo. Sudah beberapa kali dia memeriksakan buah hatinya, tetapi Lo enggan menerima bayaran. "Sudah langganan juga, tapi pas mau dibayar pasti ndak mau dan anak saya pasti sembuh," kata Kaila.
Hal tersebut ditanggapi enteng oleh Lo, yang setiap hari harus menggunakan tongkat untuk berjalan. Ia selalu menanyakan kepada pasien, apakah memiliki uang untuk berobat atau tidak.
"Kalau tidak punya, saya menulis resep dan meminta mereka menebus di apotek atau rumah sakit langganan saya agar gratis. Biar nanti tagihannya saya bayar per bulannya," kata Lo sambil menunggu pasien masuk ke ruangannya.
Setiap bulan, Lo harus menanggung biaya sekitar Rp 6 juta hingga Rp 8 juta untuk menebus obat-obat itu. Lo enggan menjelaskan lebih detail tentang beban biaya yang harus ditanggungnya tersebut. Dia mengatakan, untuk membayar tagihan itu, ada sejumlah donatur yang membantunya.
Apakah semua pasien senang dengan pilihan Lo untuk tidak memasang tarif? Suami dari Maria Gan May Kwee tersebut mengatakan, ada juga pasien yang marah kepadanya.
"Pernah juga ada pasien yang tersinggung karena saya tidak mau menyebutkan tarif. Mereka mau saya sebut tarif," katanya sambil tertawa.
Maria Gan Mey Kwee (66) menjadi sosok penting dalam kehidupan dokter Lo Siaw Ging (79). Saat ditemui di rumahnya di kawasan Jagalan, Jebres, Solo, Maria menceritakan sisi lain dari pria yang sudah didampinginya selama 45 tahun ini.
Selama itu juga Maria melihat sosok suaminya sebagai penderma sekaligus tegas dalam melaksanakan prinsipnya. Dia pun tidak heran apabila suaminya tersebut tidak memasang tarif bagi pasien kurang mampu.
"Sudah dari dulu Mas, beliau tidak menentukan tarif. Saya pun sudah diberi tahu saat akan menikah, katanya apabila menikah dengan saya, dia tidak menjanjikan kekayaan dan harta melimpah, namun hanya hidup berkecukupan," kata Maria, Rabu (4/12/2013).
Maria menceritakan sepenggal kenangan masa lalu saat dirinya pertama kali bertemu dengan dokter Lo. Saat itu, dia menjadi pasien dokter Lo di Panti Kucala, (sekarang rumah Sakit Dr Oen) Solo, dan saat itulah cinta mulai tumbuh.
Maria juga memberi komentar terhadap sikap suaminya yang tidak memasang tarif untuk pasiennya. "Janganlah dibesar-besarkan Mas, itu sudah biasa. Dengan sikap tersebut saja kita sudah hidup berkecukupan. Kami punya prinsip juga kalau Tuhan akan memberi lebih apabila kita tidak mengukur segalanya dengan materi," kata Maria.
Maria menambahkan, dokter Lo biasa mengisi waktu senggangnya dengan berolahraga, menonton film, dan membaca novel karya penulis favoritnya, John Grisham. "Yang paling dia sukai adalah membaca novel, apalagi karangannya John Grisham. Kalau film, dia paling suka film action," katanya.
Sebagai ibu rumah tangga, Maria juga sering menemui pengalaman menarik saat pasien datang ke tempat praktik di rumahnya. "Suami saya memang tidak pasang tarif, dan seikhlasnya mereka mau bayar berapa, atau kalau tidak punya pun tidak usah bayar. Tapi, ada juga lho Mas pasien datang pakai mobil, pilih tidak bayar, tapi ada juga seorang nenek datang periksa dan memaksa bayar lima ribu rupiah," tutur Maria.
Maria mengungkapkan, meskipun suaminya tidak pernah memasang tarif ketika melayani pasien, dia tidak pernah merasa kekurangan. "Ini konsekuensinya menjadi istri dokter Lo, dan meskipun demikian kami tidak pernah kekurangan. Kami juga tidak berasal dari keluarga kaya, tapi kami masih bisa hidup berkecukupan," katanya.
Sementara itu, saat ditemui terpisah, dokter Lo mengungkapkan bahwa sosok istrinya menjadi penyemangat dalam kehidupannya. "Saya belum dikaruniai anak, dan istri saya perannya sangat besar selama saya berkarya hingga saat ini," kata dokter Lo.
"Tidak perlu dibesar-besarkanlah. Itu sudah saya lakukan dari sejak dulu. Menjadi dokter itu memang harus menolong yang sakit dan miskin. Kalau mau kaya ya jangan jadi dokter, tapi jadi pedagang," kata dr Lo, Sabtu (30/11/2013).
Itu adalah pesan dari ayahnya yang terus menjadi penyemangat bagi dr Lo untuk terus berkarya bagi para pasiennya.
"Saya selalu ingat pesan ayah saya, kalau ingin kaya jangan jadi dokter, tapi jadilah pedagang. Sebaliknya jika ingin berdagang, jangan menjadi dokter. Saya pun memilih menjadi dokter karena itu cita-cita saya dari sejak kecil," kata dr Lo.
Hal itu yang membuatnya memutuskan bahwa dirinya tidak akan mengenakan tarif kepada pasien yang miskin. Dr Lo mengaku, dirinya melihat bahwa para pasien miskin tidak perlu lagi dibebani dengan biaya pengobatan karena perjuangan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari juga sudah berat.
"Saya katakan tidak usah bayar, uangnya buat beli beras saja," tuturnya tentang pengalamannya bertemu dengan pasien miskin.
Alumni dari Universitas Airlangga tahun 1962 yang sempat mencicipi pendidikan di Manajemen Administrasi Rumah Sakit di Universitas Indonesia ini pernah menjabat sebagai Direktur Utama Rumah Sakit Kasih Ibu, Solo, periode 1981-2004. Setelah pensiun dari kursi direktur, suami dari Maria Gan May Kwee tersebut tetap melayani pasien di rumah sakit yang sama dan di tempat praktiknya sekaligus rumahnya di Jagalan, Jebres, Solo, sampai kini.
Saat disinggung akan sampai kapan melayani pasien, pengagum sosok dr Oen tersebut mengatakan hingga sampai tubuhnya sudah tidak bisa bergerak. "Ndak tahu, selama tubuh saya masih bisa bekerja, saya akan melayani," katanya.
Sumber: Tribunnews.com