Indonesia Butuh Insinyur

Ketika fokus pemerintahan kini sedang mengarah pada pembangunan infrastuktur, sebuah ironi ternyata Indonesia malah kekurangan insinyur, terutama anak bangsa sendiri. "Selain jumlahnya memang sudah kurang, lulusan (sekolah) insinyur lokal juga lebih memilih bekerja di bidang lain," ujar Direktur Umum Bidang Iptek dan Kelembagaan Pendidikan Tinggi, Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi, Patdono Suwignjo, Selasa (17/5/2016). Menurut Patdono, kebanggaan insinyur terhadap profesinya relatif kurang. Alasan yang jamak muncul adalah kecilnya penghasilan dari profesi bidang itu. Saat ini terdata ada 750.000 insinyur di Indonesia. Namun, hanya 40 persen yang tetap bekerja dibidang keinsinyuran.
Agaknya Indonesia memang sedang dalam kondisi darurat tenaga kerja konstruksi ahli atau insinyur. Angka kekurangan insinyur tiap tahunnya mencapai hingga 15.000 orang dan kekurangan itu justru kemungkinan besar akan diisi oleh insinyur-insinyur asing mengingat Indonesia saat ini menjadi anggota Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA).
Kondisi yang ada saat ini dalam perkembangan konstruksi Indonesia yang begitu pesat, peran insinyur memang relatif belum terlalu besar karena minimnya kesempatan bagi mereka untuk terlibat secara dominan. "Peran mereka belum maksimal karena hampir semua infrastruktur yang sedang berkembang yakni jalan ditangani oleh BUMN dan asing.
Untuk itu, hendaknya selain ijazah para sarjana teknik juga membekali diri mereka dengan kemampuan lain seperti bahasa Inggris, kemampuan komputer beserta perangkat lunak keahlian praktisi di dalam perencanaan, keahlian di bidang engineering dan teknologi, serta kemampuan googling untuk mendapatkan pengetahuan yang dibutuhkan. Hal ini tidak lain adalah agar mereka dapat bersaing secara global dengan insinyur dari negara lain.
Selain itu yang tak kalah penting, mereka juga semestinya memiliki sertifikat kompeten yang menjamin kemampuan dari insinyur yang bersangkutan. Setidaknya ada tiga sertifikat yang mesti dimiliki oleh seorang insinyur, yakni sertifikat PIPI dengan Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi Nasional (LPJKN), sertifikat dari Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) di bidang kelistrikan, dan sertifikat MEA. Sayangnya, hingga saat ini jumlah insinyur bersertifikat di Indonesia masih sedikit. Saat ini kurang dari dua persen tenaga ahli (insinyur) yang memiliki sertifikat kompetensi, itu pun dimiliki perusahaan untuk kelengkapan ambil surat badan usaha agar bisa ikutan tender ,padahal dinegara-negara ASEAN sebanyak 60 persen sertifikasi kompetensi insinyur justru dipegang sendiri bukan oleh perusahaan.
Regulasi terkait sertifikasi insinyur di Indonesia memang masih kurang tegas bila dibandingkan dengan negara lain. Di Malaysia misalnya, begitu ada yang masuk jasa konstruksi, para tenaga kerjanya akan diminta sertifikasinya. Bila tidak ada maka tidak akan dipekerjakan. Hal lainnya, sertifikat yang dikeluarkan tersebut hendaknya dalam dua bahasa sehingga para tenaga kerja bisa go international.